logo ICMI |
Kelahiran ICMI bukankah sebuah kebetulah sejarah belaka, tapi erat
kaitannya dengan perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri.
Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya
perang dingin dan konflik ideologi.
Seiring dengan itu
semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan tampilnya
Islam sebagai ideologi
peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan perabadan dunia. Bagi
Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu berarti
hegemoni mereka terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar
peradaban lahir dari perasaan Barat yang subyektif terhadap Islam sebagai
kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit kembali sehingga mengancam
dominasi peradaban Barat.
Kebangkitan umat Islam ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik
(intelectual booming) yang di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia.
Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung maupun tidak langsung telah
melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern, berwawasan
kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada
institusi-institusi modern. Pada akhirnya kaum santri dapat masuk ke jajaran
birokrasi pemerintahan yang mulanya didominasi oleh kaum “abangan” dan di beberapa tempat oleh non muslim. Posisi demikian jelas berpengaruh
terhadap produk-produk kebijakan pemerintah.
Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada dasa warsa 80-an mitos bahwa
umat Islam Indonesia merupakan mayoritas tetapi secara teknikal minoritas
runtuh dengan sendirinya. Sementara itu, pendidikan berbangsa dan bernegara
yang diterima kaum santri di luar dan di dalam kampus telah mematangkan mereka
buka saja secara mental, tapi juga secara intelektual. Dari mereka itulah lahir
critical mass yang responsif terhadap dinamika dan proses pembangunan yang
sedang dijalankan dan juga telah memperkuat tradisi inteletual melalui
pergumulan ide dan gagasan yang diekpresikan baik melalui forum seminar maupun
tulisan di media cetak dan buku-buku. Seiring dengan itu juga terjadi
perkembangan dan perubahan iklim politik yang makin kondusif bagi tumbuhnya
saling pengertian antara umat Islam dengan komponen bangsa lainnya, termasuk
yang berada di dalam birokrasi.
2. Detik-detik
Kelahiran ICMI
Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid
kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa
prihatin dengan kondiri umat Islam, terutama kadena berserakannya keadaan
cendekiawan muslim, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan
umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta
berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing.
Dari forum itu kemudian muncul gagasan untuk mengadakan simposium dengan
tema Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas yang direncanakan
akan dilaksanakan pada tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman, Ali
Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara,
di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil pertemuan tersebut
pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk membentuk wadah
cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa tersebut
dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan
meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional.
Waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia tapi sebagai
menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau juga meminta agar
pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan
dukungan secara tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang
cendekiawan muslim menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah
cendekiawan muslim tersebut.
Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, B.J.
Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim
itu disetujui Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan
muslim itu diberi nama Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, disingkat ICMI.
Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan muslim bertemu lagi dalam
rangka persiapan simposium yang akan diselenggarakan bulan Desember. Pada
tanggal 25-26 November 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk
wadah baru berkumpul di Tawangmangu, Solo dalam rangka merumuskan beberapa
usulan untuk GBHN 1993 dan pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua 1993-2018
serta rancangan Program Kerja dan Struktur Organisasi ICMI.
Pelaksanaan simposium sempat terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J.
Habibie sebagai calon Ketua Umum ICMI karena beliau sebagai birokrat.
Kepemimpinannya dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kebebasan para
cendekiawan muslim. Tanggal 30 November - 1 Desember, panitia secara khusus mengadakan rapat untuk menjawab isu
negatif soal pemilihan Habibie. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa
komitmen, pertama, berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat Islam yang
mempu melahirkan sarjana dan cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI diperlukan
tokoh cendekiawan muslim yang reputasi nasional dan internasinal serta dapat
diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia maupun pemerintah. Ketiga, hanya
Unibraw ?salah satu wahana keilmuan- yang cukup pantas melahirkan organisasi
itu, apalagi pemerkasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut. Halangan juga
sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan antara penyelenggara,
pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari menjelang acara, aparat
keamanan menyoal pembentukan organisasi tersebut. ICMI, kata mereka harus
diwaspadai. Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri acara tersebut sebagai
panitia penyelenggara mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk karena
presiden sudah menyetujui dan AD/ART-nya sudah disusun.
Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam
Indonesia di era Orde Baru, secara resmi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI) dibentuk di Malang. Saat itu juga secara aklamasi disetujui kepemimpinan
tunggal dan terpilih Bahharuddin Jusup Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang
pertama. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak
berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen
memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas
utama.